Kamis, 11 Desember 2014

Tafsir Al-Bathiniyah




PENDAHULUAN

Tuhan mewahyukan Al-Qur’an kepada Muhammad SAW, bukan sekedar sebagai inisiasi kerasulan, apalagi suvenir. Secara praksis, Al-Qur’an bagi Nabi Muhammad SAW, merupakan inspirasi etik pembebasan yang menyinari kesadaran dan gerakan sosial dalam membangun masyarakat yang sejahtera, adil dan manusiawi.
Al-Qur’an yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapanpun dan di mana pun, memiliki berbagai macam keistemewaan. Keistimewaan tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang indah, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor. Redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran.
Kali ini akan dibahas salah satu bentuk penafsiran yakni tafsir bathiniyah, yang berbeda dari bentuk penafsiran yang lainnya. Model penafsiran macam ini banyak menuai kontroversi, tentunya ada yang pro da nada pula yang kontra. Pembahasan lebih lanjut adalah sebagai berikut.





PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tafsir Al-Bathiniyah
Kata tafsir diambil dari kata yang berarti keteranagn atau uraian. Al-Jurjani berpendapat bahwa tafsir menurut bahasa adalah “Al-kasf wa Al-izhar” yang berarti menyingkap (membuka) dan melahirkan.[1] Pada dasarnya, pengertian tafsir berdasarkan bahasa tidak lepas dari kandungan makna Al-idhah (menjelaskan), Al-bayan (menampakan), Al-kasyf (mengungkapkan), Al-izhar (menampakkan), dan Al-ibanah (menjelaskan)
Adapun pengertian tafsir menurut istilah, Al-Kilabi mengatakan Tafsir adalah menjelaskan al-quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan nashnya atau dengan isaratnya atau tujuannya.[2]
Sedangkan yang dimaksud Tafsi al-Bathiniyah adalah bentuk penafsiran yang mencoba untuk menangkap makna bathin dari al-Qur’an.[3] Penafsiran macam ini berangkat dari hadis Nabi sebagai berikut: "Sesungguhnya Al-Quran mempunyai arti lahir dan batin...” atas dasar inilah sebagian ulama berkeinginan menelusuri lebih dalam lagi makna yang terkandung didalam al-Qur’an.
Menurut sebagian ulama’, setiap ayat al-Qur’an itu mengandung 60.000 pemahaman,[4] bahkan menurut ulama lain 70.200 karena setiap kata didalamnya adalah sebuah pengetahuan, dan jumlah itu bisa lebih banyak lagi. Al-Biqa’i dengan indah menggambarkan al-Qur’an bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya berbeda dengan yang terpancar dari sudut lainnya.[5]
B.     Sejarah Dan Perkembangan Tafsir Al-Bathiniyah
1.      Periode Awal (abad I-II H)
Pada mulanya penafsiran macam ini terjadi pada masa Nabi dan para Sahabatnya. Karena konsep lahir dan bathin merupakan konsep al-Qur’an dan Hadis itu sendiri yang memiliki kedua macam makna tersebut.[6] Disamping itu Karena Nabi adalah sumber petunjuk lahir dan batin sekaligus,[7]Maka dapat dikatakan bahwa Nabi lah yang pertama kali melakukan penafsiran secara batin (esoterik). [8]
Hal ini dapat dilihat dari bebarapa riwayat, misalnya dari Mu’az Ibn Jabal yang membuat kesaksian tentang perintah Nabi kepada orang-orang yang berilmu untuk membatasi diri dalam penyampaian ilmunya dengan tidak memberikannya kepada sembarang orang karena khawatir tidak dapat mengetahuinya.[9]
Kemudian dari sebuah hadis tentang turunnya surah Al-Nashr yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya pada kitab al-Maghazi bab Manzil al-nabi Yaum al-Fath, no 3956. Hadis tersebut memperlihatkan bagaimana Ibn ‘Abbas menangkap makna batin surah Al-Nashr mengenai dekatnya ajal Rasullullah SAW.

2.      Periode Kedua (Abad III-VII H)
Periode ini ditandai dengan waktu ketika tafsir-tafsir sufi awal ditulis,[10] yang pertama dimulai pada abad ke-3 H dengan munculnya mufassir sufi paling awal seperti Al-Tustari (w. 283 H), beliau menulis kitab tafsir yang berjudul Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Kemudian seorang tokoh yang sezaman dengan Al-Tustari adalah Al-Hakim yang memiliki karya dalam bidang tafsir yaitu Tahshil Nazhair Al-Qur’an. Karyanya tersebut disamping membuktikan kemustahilan “sinonim” (al-mutaradif) al-Qur’an juga menyajikan penafsiran model bathiniyah.[11]
Kemudian seorang tokoh fenomenal yakni Al-Ghazali (w. 505 H) menulis kitab tafsir panjang lebar hingga 40 jilid yang berjudul Yaqut Al-Ta’wil, yang mana kitab ini diperkirakan sudah hilang. Al-Ghazali meyakini bahwa al-Qur’an memiliki makna bathini yang hanya dapat diakses oleh jiwa yang suci “al-Qulub al-Zakiyah” yakni para sufi. Beliau menunjuk beberapa sahabat besar seperti Ali Ibn Abi Thalib, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud sebagai peletak dasar penafsiran bathiniyah.[12]
3.      Periode Ketiga (Abad VIII-X H)
Periode ini ditandai dengan kemuculan teosof-penafsir Syi’ah. Diantara tokoh-tokohnya adalah Haidar Amuli (w.794 H), Shain Al-Din Al-Ishfahani (w. 830 H), Shadr Al-Din AL-Shirazi (w. 1050 H) yang juga dikenal sebagai Mulla Sadra, ia berhasil men-sintesis-kan tiga aliran intelektual Islam yaitu makrifat sufi, filsafat atau teosofi, dan teologi Syi’ah yang tercermin dalam bidang tafsir model bathiniyah terhadap al-Quir’an. Salah seorang rekan sezaman Mulla Shadra, Sayyid Ahmad Alawi juga menulis sebuah tafsir yang dianggap sebagai salah satu tafsir makrifat dan teosofis dikalangan Syi’ah.[13]
4.      Periode Keempat (Abad XI H. Sampai Sekarang)
Periode ini ditandai dengan perkembangan tanpa henti tafsir teosofis sampai sekarang. Salah seorang tokoh pada periode ini adalah Abu Al-Hasan Syarif ‘Amili Ishfahani (w. 1138 H), memulai proyek tafsir monumental dengan tujuan mengemukakan pengertian bathini dari setiap ayat al-Qur’an.[14]
Pada abad-abad sebelumnya sampai sekarang terus ditemukan tafsir-tafsir monumental seperti karya Sulthan ‘Ali Syah (w. 1318 H) dan Sayyid Muhammad Husain Al-Thabatha’i (w. 1402 H) yang merupakan salah seorang tokoh mufassir model bathiniyah periode terakhir ini.  Karena keberadaannya pada periode terakhir diasumsikan beliau terpengaruhi oleh para penafsir bathini sebelumnya. Walaupun demikian, menurut Adamsom Hobel, sulit untuk mengetahui bentuk keterpengaruhan tersebut. Alasannya, bentuk pemikiran berbeda dengan inovasi dalam bentuk kebendaan.[15]
C.    Syarat-Syarat Tafsir Al-Bathiniyah
Al-Thabathabai merumuskan syarat-syarat tafsir esoterik yang dapat diterima menurut pandangannya sebagai berikut:[16]
1.      Tidak menafikan makna eksoterik (pengertian tekstual) ayat al-Qur’an. Persyaratan ini diperlihatkan Al-Thabathabai ketika menjelaskan nisbah (persentase) antara makna al-Quran yang bersifat esoterik dan eksoterik (lahir).
2.      Penafsiran itu diperkuat dalil syara’ lain. Persyaratan ini dirumuskan dari metode tafsir esoterik yang dilakukan Al-Thabathabai ketika menafsirkan ayat antropomorfisme yang diperkuat dengan ayat lainnya.
3.      Makna esoterik tidak bertentangan dengan makna esoteriknya, syarat ini dirumuskan dari pandangan Al-Thabathabai tentang keserasian antara kedua dimensi makna itu, terutama kritiknya terhadap pendapat yang mengartikan takwil sebagai kontradiksi dengan makna eksoterik.
4.      Tidak mengacukan pemahaman orang awam. Syarat ini dirumuskan dari pandangan Al-Thabathabai tentang perlunya menyampaikan penjelasan tentang pesan al-Quran kepada orang awam sesuai dengan tingkat pemahamannya.
Adapun syarat-syarat yang dikemukakan oleh Adz-Dzahabi, sebagai berikut:[17]
1.      Tidak menafikan makna eksoterik (pengertian tekstual) ayat al-Qur’an.
2.      Penafsiran itu diperkuat dalil syara’ lain.
3.      Penafsiran itu tidak bertentangan dengan dalil syara’ lain atau rasio.
4.      Penafsiran itu tidak mengakui bahwa hanya penafsiran batiniahlah yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstualnya. Sebagaimana ia harus mengakui pengertian tekstual ayat. Alasannya, tidak mungkin seseorang sampai kepada makna esoterik, sebelum melewati makna eksoteriknya. Siapa mengakui bahwa ia mengetahui rahasia-rahasia al-Quran tanpa melalui tafsir lahiriyah, maka sama saja seperti orang yang mengaku sudah sampai di tengah rumah tanpa mendekati pintu terlebih dahulu.



Kemudian Ali Ash-Shabuni menambah tiga persyaratan lagi, yaitu:[18]
1.      Makna esoterik tidak bertentangan dengan makna eksoteriknya.
2.      Penakwilannya tidak melampaui konteks kata.
3.      Tidak mengacaukan pemahaman orang awam
D.    Contoh Tafsir Al-Bathiniyah
Ketika menafsirkan surah yûnus ayat 15 yaitu:
قَالَ الَّذِينَ لا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا ائْتِ بِقُرْآنٍ غَيْرِ هَذَا أَوْ بَدِّلْهُ
orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: "Datangkanlah Al-Qur'an yang lain dari ini[19] atau gantilah dia[20]"…
Ayat tersebut ditafsirkan bahwa kata أَوْ بَدِّلْهُ maksudnya adalah gantilah dengan ‘Alî, padahal sudah jelas tidak ada hubungannya dengan ‘Alî.[21]
            Kemudian surah al-hijr ayat 99 yaitu:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).
Yang dimaksud al-yaqin adalah ma’rifat takwil. Padahal, makna al-yaqin di sini adalah maut. Di lain tempat, kaum Bathiniyah menghalalkan perkawinan dengan saudara-saudara perempuan dan semua muhrim lainnya. Alasan mereka, saudara laki-laki lebih berhak atas saudara perempuan mereka.  Menurut Abu Bakar Aceh, seperti dikutip Rosihon Anwar, penafsiran mereka merupakan cerminan dari keyakinan yang mirip Plato.[22]

Ayat lain yang dita’wilkan tentang Nabi Musa menerima wahyu di bukit Thursina. Surah thâhâ ayat 12 yaitu:
            فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ
maka tanggalkanlah kedua terompahmu (Qs Thaha : 12)
Mereka mengartikan خلع النعلين  dengan isyarat untuk meninggalkan dua alam dan kata طور  diartikan akal fa’al, sebuah istilah yang dikenal luas di dalam filsafat, dari sini terlihat bahwa Bathiniyyah mencampur filsafat dalam menta’wilkan ayat-ayat al-Qur'an dengan menggunakan istilah-istilah yang tidak ditemukan dalam Kitab dan Sunah, sebagaimana di tuturkan oleh pengikut Bathiniyyah Abdullah bin Husain al-Qoiruni.[23]
E.     Kitab-kitab Yang Memuat Tafsir Al-Bathiniyah
Diantaranya adalah sebagai berikut:[24]
1.      Al-Thibyân Fî Al-Tafsîr Al-Qur’ân, karya Abu Ja’far Muhammad Ibn Hasan Ibn ‘Alî Al-Thûsi
2.      Majma’ Al-Bayân, karya Abu ‘Alî Al-Fadhl Ibn Al-Hasan Al-Tabrasi
3.      Al-Shafi ,karya Mala Muhsin al-Kasyi


F.     Perbedaan Tafsir Isyari dan Tafsir Al-Bathiniyah
Inti perbedaan antara tafsir Isyari dan tafsir Bathiniyah adalah pandangan mereka terhadap lafadz atau kaliamat ayat. Penafsir al-Isyari mengakui lafadz dan maknanya, tetapi ia menambahkan makna baru dari isyarat yang diperolehnya. Sedang penafsir Bathiniyah tidak lagi mengakui makna kalimat yang digunakan ayat dan menganggap bahwa makna isyaratnyalah yang dimaksud oleh ayat, atau menyatakan bahwa makna lahiriah lafadz itu adalah buat orang-orang awam, dan sedangkan makna batinya untuk orang-orang khusus.[25]
G.    Penilaian Ulama Terhadap Tafsir Al-Bathiniyah
1.      Menurut Ali ash-Shabuni bahwasanya pengikut aliran Bathiniyah menafsirkan ayat al-Qur’an hanya mengikuti hawa nafsu dan hanya mempermainkan ayat-ayat Tuhan. Karena itu,mereka sering disebut dengan sebutan Kafir Zindiq.[26]
2.      Menurut Imam Al-Zarqani bahwa golongan Bathiniyyah tidak mengacuhkan sama sekali tata bahasa Arab dalam memahami al-Qur’an. Mereka dalam memahami hanya menghayal dan menyatakan diri sebagai ahli hakikat yang telah sampai kepada titik puncak langsung behubungan dengan Allah,sehingga mereka bebas dari Syari’at.  Bahkan,mereka dianggap keluar dari kebenaran serta menyesatkan.[27]
3.      Menurut Imam an-nasafi dan at-Taftazani menjelaskan bahwa tafsir bathini adalah penafsiran orang kafir yang menyelewengkan makna ayat-ayat al-Qur’an sedangkan tafsir al-Isyari adalah penafsiran orang yang arif billah.Menurut mereka,penafsiran dengan metode bathiniyah sangat menyimpang dari nash yang sesungguhnya dalam makna al-Qur’an,tujuan mereka dalam penafsiran ini tidak lain adalah untuk menghapus syari’at serta hukum agama.[28]

KESIMPULAN








DAFTAR PUSTAKA
Al-Dzahabî Muhammad Husain, Al-Tafsîr Wa Al-Mufassirûn, Mesir: Dâr Al-Maktûb Al-Hadîtsah, 1976
Al-Jalind Muhammad al-Said, al-Imam Ibnu Taimiyah wa Mauqifuhu min qadhiyati al-Ta’wil, Kairo, 1972
Al-Jurjani, A-Ta’rif, Al-Thaba’ah wa Al-Nasyr wa Al-tauzi’, Jeddah, t. t.,
Al-Shâbûnî, Muhammad ‘Alî, Al-Thibyân Fî ‘Ulûm Al-Qur’ân, Beirut: Alam al-Kutub, t.th
Al-Shâbûnî, Muhammad ‘Alî, Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Surabaya: Al-Ikhlas, 1983
Al-Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Quran, Jakarta, Bulan Bintang, Bandung, 1994, hlm. 178
Al-Qanuji, al-‘Ulum al-Wasyi al-Marqum Fi Bayan Ahwal al-‘Ulum, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1978
Anwar, Rosihon, Menelusuri Ruang Batin Al-Qur’a: Belajar Tafsir Batin Pada Allamah Thabathaba’i Jakarta: Erlangga, 2010
Anwar, Rosihon, , Samudera al-Qur’an, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001
Anwar, Rosihon, Penafsiran Al-Qur’an Perspektif Nabi Muhammad, Bandung: Pustaka Setia, 1999 terjemahan dari Al-Tafsir al-Nabawi: Khasaishah wa mashadirah karya Muhammad ‘Abd Rahim
Habil, Abdurrahman, Traditional Esoteric Commentaries On The Quran, dalam Sayyed Hossein (Ed), Islamic Spirituality Foundation, New York:Crossroad, 1991
Hadi, ‘Abdul Tawwab ‘Abdul, Lambang-Lambang Sufi Didalam al-Qur’an, terj. Afif Muhammad dari Al-Ramziyyah Al-Shufiyyah Fi al-Qur’an al-Karim, Bandung: Pustaka, 1986
Mahmud,  ‘Abd Al-Halim, Manahij Al-Mufassirin, Mesir: Dar Al-Katib, 1987
Nasr, Sayyed Hossein, Ideals and Realities Of Islam (London: George Allen & Unwin Ltd, 1975) Cet. II, h. 160
Prihananto, “Profil Seorang Pemikir Filsafat Islam Modern: Thabathaba’î”, dalam Jurnal IAIN Walisongo, Edisi XVI, Juli-September 1999.
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir, Tanggerang: Lentera Hati, 2013
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992
Quasem, Muhammad Abul, Al-Ghazali’s Theory Of Qur’an Exegesis Acording to One’s Personal Opinion, dalam A.H. Johns (E.d), International Congress fo The Stuy Of The Qur’an, Canberra: Australian National University, 1980



[1] Al-Jurjani, At-Ta’rifa, At-Thaba’ah wa An-Nasyr wa At-tauzi’, Jeddah, t. t.,hlm. 63
[2] Ash shiddieqy, TM Hasbi, Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Quran, Jakarta, Bulan Bintang, Bandung, 1994, hlm. 178
[3] Rosihon Anwar, Menelusuri Ruang Batin Al-Qur’a: Belajar Tafsir Batin Pada Allamah Thabathaba’i (Jakarta: Erlangga, 2010) h. 109
[4] Al-Qanuji, al-‘Ulum al-Wasyi al-Marqum Fi Bayan Ahwal al-‘Ulum (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1978), V.II, h. 183
[5] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992) h. 16
[6] ‘Abdul Tawwab ‘Abdul Hadi, Lambang-Lambang Sufi Didalam al-Qur’an, terj. Afif Muhammad dari Al-Ramziyyah Al-Shufiyyah Fi al-Qur’an al-Karim (Bandung: Pustaka, 1986)
[7] Sayyed Hossein Nasr, Ideals and Realities Of Islam (London: George Allen & Unwin Ltd, 1975) Cet. II, h. 160
[8] Rosihon Anwar, Penafsiran Al-Qur’an Perspektif Nabi Muhammad (Bandung: Pustaka Setia, 1999), terjemahan dari Al-Tafsir al-Nabawi: Khasaishah wa mashadirah karya Muhammad ‘Abd Rahim
[9] Rosihon Anwar, Menelusuri Ruang Batin Al-Qur’an,… h. 71
[10] Abdurrahman Habil, Traditional Esoteric Commentaries On The Quran, dalam Sayyed Hossein Nasr (Ed), Islamic Spirituality Foundation (New York:Crossroad, 1991) h. 30
[11] ‘Abd Al-Halim Mahmud, Manahij Al-Mufassirin, (Mesir: Dar Al-Katib, 1987) Volume I, h. 55
[12] Muhammad Abul Quasem, Al-Ghazali’s Theory Of Qur’an Exegesis Acording to One’s Personal Opinion, dalam A.H. Johns (E.d), International Congress fo The Stuy Of The Qur’an, (Canberra: Australian National University, 1980) h. 69
[13] Abdurrahman Habil, Traditional Esoteric Commentaries On The Quran,… h. 37
[14] Ibid, h. 39
[15] Prihananto, “Profil Seorang Pemikir Filsafat Islam Modern: Thabatha’I”, dalam Jurnal IAIN Walisongo, Edisi XVI, Juli-September 1999.
[16] Thabâthabâ’i, Al-Mîzân, (t.tp: t.p, t.th), volume V, h. 281
[17] Muhammad Husain Al-Dzahabî, Al-Tafsîr Wa Al-Mufassirûn (Mesir: Dâr Al-Maktûb Al-Hadîtsah, 1976) volume II, h. 358
[18] ‘Alî Al-Shâbûnî, Al-Thibyân Fî ‘Ulûm Al-Qur’ân (Beirut: Alam al-Kutub, t.th) h. 179
[19] Maksudnya: datangkanlah kitab yang baru untuk kami baca yang tidak ada di dalamnya hal-hal kebangkitan kubur, hidup sesudah mati dan sebagainya.
[20] Maksudnya: gantilah ayat-ayat yang menerangkan siksa dengan ayat-ayat yang menerangkan rahmat, dan yang mencela tuhan-tuhan kami dengan yang memujinya dan sebagainya.
[21] Muhammad ‘Alî Al-Shâbûnî, Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983) h. 228
[22] Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. , Samudera al-Qur’an (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001) h. 205
[23] Muhammad al-Said al-Jalind, al-Imam Ibnu Taimiyah wa Mauqifuhu min qadhiyati al-Ta’wil, (Kairo, 1972) h. 292
[24] Muhammad Husain Al-Dzahabî, Al-Tafsîr Wa Al-Mufassirûn,… Volume II, h. 229
[25] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tanggerang: Lentera Hati, 2013) h:373
[26] Muhammad ‘Alî Al-Shâbûnî, Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,… h. 204
[27] Ibid, h. 211
[28] Ibid, h. 205

Tidak ada komentar: