PENDAHULUAN
Tuhan
mewahyukan Al-Qur’an kepada Muhammad SAW, bukan sekedar sebagai inisiasi
kerasulan, apalagi suvenir. Secara praksis, Al-Qur’an bagi Nabi Muhammad SAW,
merupakan inspirasi etik pembebasan yang menyinari kesadaran dan gerakan sosial
dalam membangun masyarakat yang sejahtera, adil dan manusiawi.
Al-Qur’an
yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk untuk umat
manusia kapanpun dan di
mana pun, memiliki berbagai macam keistemewaan. Keistimewaan tersebut, antara
lain, susunan bahasanya yang indah, dan pada saat yang sama mengandung
makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya,
walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai
faktor. Redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan
atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh
pemilik redaksi tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan keanekaragaman
penafsiran.
Kali ini akan
dibahas salah satu
bentuk penafsiran yakni tafsir bathiniyah, yang berbeda dari bentuk penafsiran
yang lainnya. Model penafsiran
macam ini banyak menuai kontroversi, tentunya ada yang pro da nada pula yang
kontra. Pembahasan lebih lanjut adalah sebagai berikut.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir Al-Bathiniyah
Kata tafsir
diambil dari kata yang berarti keteranagn atau uraian. Al-Jurjani berpendapat
bahwa tafsir menurut bahasa adalah “Al-kasf
wa Al-izhar” yang berarti menyingkap (membuka) dan melahirkan.[1] Pada dasarnya, pengertian tafsir berdasarkan bahasa tidak
lepas dari kandungan makna Al-idhah
(menjelaskan), Al-bayan (menampakan),
Al-kasyf (mengungkapkan), Al-izhar
(menampakkan), dan Al-ibanah
(menjelaskan)
Adapun
pengertian tafsir menurut istilah, Al-Kilabi mengatakan Tafsir adalah
menjelaskan al-quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki
dengan nashnya atau dengan isaratnya atau tujuannya.[2]
Sedangkan
yang dimaksud Tafsi al-Bathiniyah adalah bentuk penafsiran yang mencoba untuk menangkap
makna bathin dari al-Qur’an.[3]
Penafsiran macam ini berangkat dari hadis Nabi sebagai berikut: "Sesungguhnya Al-Quran mempunyai arti
lahir dan batin...” atas dasar
inilah sebagian ulama berkeinginan menelusuri lebih dalam lagi makna yang
terkandung didalam al-Qur’an.
Menurut sebagian ulama’, setiap ayat
al-Qur’an itu mengandung 60.000 pemahaman,[4]
bahkan menurut ulama lain 70.200 karena setiap kata didalamnya adalah sebuah
pengetahuan, dan jumlah itu bisa lebih banyak lagi. Al-Biqa’i dengan indah
menggambarkan al-Qur’an bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya
berbeda dengan yang terpancar dari sudut lainnya.[5]
B. Sejarah Dan Perkembangan Tafsir Al-Bathiniyah
1.
Periode Awal (abad I-II
H)
Pada mulanya
penafsiran macam ini terjadi pada masa Nabi dan para Sahabatnya. Karena konsep
lahir dan bathin merupakan konsep al-Qur’an dan Hadis itu sendiri yang memiliki
kedua macam makna tersebut.[6]
Disamping itu Karena Nabi adalah sumber petunjuk lahir dan batin sekaligus,[7]Maka
dapat dikatakan bahwa Nabi lah yang pertama kali melakukan penafsiran secara
batin (esoterik). [8]
Hal ini dapat
dilihat dari bebarapa riwayat, misalnya dari Mu’az Ibn Jabal yang membuat kesaksian
tentang perintah Nabi kepada orang-orang yang berilmu untuk membatasi diri
dalam penyampaian ilmunya dengan tidak memberikannya kepada sembarang orang
karena khawatir tidak dapat mengetahuinya.[9]
Kemudian dari
sebuah hadis tentang turunnya surah Al-Nashr yang diriwayatkan oleh al-Bukhari
dalam Shahihnya pada kitab al-Maghazi bab Manzil al-nabi Yaum al-Fath, no 3956.
Hadis tersebut memperlihatkan bagaimana Ibn ‘Abbas menangkap makna batin surah
Al-Nashr mengenai dekatnya ajal Rasullullah SAW.
2.
Periode Kedua (Abad
III-VII H)
Periode ini
ditandai dengan waktu ketika tafsir-tafsir sufi awal ditulis,[10] yang
pertama dimulai pada abad ke-3 H dengan munculnya mufassir sufi paling awal
seperti Al-Tustari (w. 283 H), beliau menulis kitab tafsir yang berjudul Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim. Kemudian seorang tokoh yang sezaman dengan Al-Tustari
adalah Al-Hakim yang memiliki karya dalam bidang tafsir yaitu Tahshil Nazhair Al-Qur’an. Karyanya
tersebut disamping membuktikan kemustahilan “sinonim” (al-mutaradif) al-Qur’an
juga menyajikan penafsiran model bathiniyah.[11]
Kemudian seorang
tokoh fenomenal yakni Al-Ghazali (w. 505 H) menulis kitab tafsir panjang lebar
hingga 40 jilid yang berjudul Yaqut Al-Ta’wil, yang mana kitab ini diperkirakan
sudah hilang. Al-Ghazali meyakini bahwa al-Qur’an memiliki makna bathini yang
hanya dapat diakses oleh jiwa yang suci “al-Qulub al-Zakiyah” yakni para sufi.
Beliau menunjuk beberapa sahabat besar seperti Ali Ibn Abi Thalib, Ibn Abbas,
Ibn Mas’ud sebagai peletak dasar penafsiran bathiniyah.[12]
3.
Periode Ketiga (Abad
VIII-X H)
Periode ini
ditandai dengan kemuculan teosof-penafsir Syi’ah. Diantara tokoh-tokohnya
adalah Haidar Amuli (w.794 H), Shain Al-Din Al-Ishfahani (w. 830 H), Shadr
Al-Din AL-Shirazi (w. 1050 H) yang juga dikenal sebagai Mulla Sadra, ia
berhasil men-sintesis-kan tiga aliran
intelektual Islam yaitu makrifat sufi, filsafat atau teosofi, dan teologi
Syi’ah yang tercermin dalam bidang tafsir model bathiniyah terhadap al-Quir’an.
Salah seorang rekan sezaman Mulla Shadra, Sayyid Ahmad Alawi juga menulis
sebuah tafsir yang dianggap sebagai salah satu tafsir makrifat dan teosofis
dikalangan Syi’ah.[13]
4.
Periode Keempat (Abad XI
H. Sampai Sekarang)
Periode ini
ditandai dengan perkembangan tanpa henti tafsir teosofis sampai sekarang. Salah
seorang tokoh pada periode ini adalah Abu Al-Hasan Syarif ‘Amili Ishfahani (w.
1138 H), memulai proyek tafsir monumental dengan tujuan mengemukakan pengertian
bathini dari setiap ayat al-Qur’an.[14]
Pada abad-abad
sebelumnya sampai sekarang terus ditemukan tafsir-tafsir monumental seperti
karya Sulthan ‘Ali Syah (w. 1318 H) dan Sayyid Muhammad Husain Al-Thabatha’i
(w. 1402 H) yang merupakan salah seorang tokoh mufassir model bathiniyah
periode terakhir ini. Karena
keberadaannya pada periode terakhir diasumsikan beliau terpengaruhi oleh para
penafsir bathini sebelumnya. Walaupun demikian, menurut Adamsom Hobel, sulit
untuk mengetahui bentuk keterpengaruhan tersebut. Alasannya, bentuk pemikiran
berbeda dengan inovasi dalam bentuk kebendaan.[15]
C. Syarat-Syarat
Tafsir Al-Bathiniyah
Al-Thabathabai merumuskan syarat-syarat tafsir
esoterik yang dapat diterima menurut pandangannya sebagai berikut:[16]
1. Tidak menafikan makna eksoterik
(pengertian tekstual) ayat al-Qur’an. Persyaratan ini diperlihatkan Al-Thabathabai
ketika menjelaskan nisbah (persentase) antara makna al-Quran yang bersifat
esoterik dan eksoterik (lahir).
2. Penafsiran itu diperkuat dalil syara’
lain. Persyaratan ini dirumuskan dari metode tafsir esoterik yang dilakukan
Al-Thabathabai ketika menafsirkan ayat antropomorfisme yang diperkuat dengan
ayat lainnya.
3. Makna esoterik tidak bertentangan dengan
makna esoteriknya, syarat ini dirumuskan dari pandangan Al-Thabathabai tentang
keserasian antara kedua dimensi makna itu, terutama kritiknya terhadap pendapat
yang mengartikan takwil sebagai kontradiksi dengan makna eksoterik.
4. Tidak mengacukan pemahaman orang awam.
Syarat ini dirumuskan dari pandangan Al-Thabathabai tentang perlunya
menyampaikan penjelasan tentang pesan al-Quran kepada orang awam sesuai dengan
tingkat pemahamannya.
Adapun
syarat-syarat yang dikemukakan oleh Adz-Dzahabi, sebagai berikut:[17]
1. Tidak menafikan makna eksoterik
(pengertian tekstual) ayat al-Qur’an.
2. Penafsiran itu diperkuat dalil syara’
lain.
3. Penafsiran itu tidak bertentangan dengan
dalil syara’ lain atau rasio.
4. Penafsiran itu tidak mengakui bahwa
hanya penafsiran batiniahlah yang dikehendaki Allah, bukan pengertian
tekstualnya. Sebagaimana ia harus mengakui pengertian tekstual ayat. Alasannya,
tidak mungkin seseorang sampai kepada makna esoterik, sebelum melewati makna
eksoteriknya. Siapa mengakui bahwa ia mengetahui rahasia-rahasia al-Quran tanpa
melalui tafsir lahiriyah, maka sama saja seperti orang yang mengaku sudah
sampai di tengah rumah tanpa mendekati pintu terlebih dahulu.
Kemudian Ali
Ash-Shabuni menambah tiga persyaratan lagi, yaitu:[18]
1. Makna esoterik tidak bertentangan dengan
makna eksoteriknya.
2. Penakwilannya tidak melampaui konteks
kata.
3. Tidak mengacaukan pemahaman orang awam
D. Contoh Tafsir
Al-Bathiniyah
Ketika
menafsirkan surah yûnus ayat 15
yaitu:
قَالَ الَّذِينَ لا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا ائْتِ بِقُرْآنٍ
غَيْرِ هَذَا أَوْ بَدِّلْهُ
…orang-orang
yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: "Datangkanlah
Al-Qur'an yang lain dari ini[19] atau
gantilah dia[20]"…
Ayat tersebut ditafsirkan bahwa kata أَوْ بَدِّلْهُ maksudnya adalah gantilah dengan ‘Alî, padahal sudah jelas tidak ada
hubungannya dengan ‘Alî.[21]
Kemudian
surah al-hijr ayat 99 yaitu:
وَاعْبُدْ
رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang
kepadamu yang diyakini (ajal).
Yang dimaksud al-yaqin adalah ma’rifat
takwil. Padahal, makna al-yaqin di sini adalah maut. Di lain tempat, kaum
Bathiniyah menghalalkan perkawinan dengan saudara-saudara perempuan dan semua
muhrim lainnya. Alasan mereka, saudara laki-laki lebih berhak atas saudara
perempuan mereka. Menurut Abu Bakar
Aceh, seperti dikutip Rosihon Anwar, penafsiran mereka merupakan cerminan dari
keyakinan yang mirip Plato.[22]
Ayat lain yang
dita’wilkan tentang Nabi Musa menerima wahyu di bukit Thursina. Surah thâhâ ayat 12 yaitu:
فَاخْلَعْ
نَعْلَيْكَ
maka
tanggalkanlah kedua terompahmu (Qs Thaha : 12)
Mereka
mengartikan خلع
النعلين
dengan isyarat untuk meninggalkan dua alam dan kata طور diartikan akal fa’al, sebuah istilah yang dikenal
luas di dalam filsafat, dari sini terlihat bahwa Bathiniyyah mencampur
filsafat dalam menta’wilkan ayat-ayat al-Qur'an dengan menggunakan
istilah-istilah yang tidak ditemukan dalam Kitab dan Sunah, sebagaimana di tuturkan oleh pengikut Bathiniyyah Abdullah bin
Husain al-Qoiruni.[23]
E.
Kitab-kitab
Yang Memuat Tafsir Al-Bathiniyah
Diantaranya adalah sebagai berikut:[24]
1. Al-Thibyân
Fî Al-Tafsîr Al-Qur’ân, karya Abu Ja’far Muhammad Ibn Hasan Ibn ‘Alî Al-Thûsi
2. Majma’
Al-Bayân, karya Abu ‘Alî Al-Fadhl Ibn Al-Hasan Al-Tabrasi
3. Al-Shafi ,karya
Mala Muhsin al-Kasyi
F. Perbedaan
Tafsir Isyari dan Tafsir Al-Bathiniyah
Inti
perbedaan antara tafsir Isyari dan tafsir Bathiniyah adalah pandangan mereka
terhadap lafadz atau kaliamat ayat. Penafsir al-Isyari mengakui lafadz dan
maknanya, tetapi ia menambahkan makna baru dari isyarat yang diperolehnya.
Sedang penafsir Bathiniyah tidak lagi mengakui makna kalimat yang digunakan
ayat dan menganggap bahwa makna isyaratnyalah yang dimaksud oleh ayat, atau
menyatakan bahwa makna lahiriah lafadz itu adalah buat orang-orang awam, dan
sedangkan makna batinya untuk orang-orang khusus.[25]
G. Penilaian Ulama Terhadap Tafsir Al-Bathiniyah
1.
Menurut Ali ash-Shabuni
bahwasanya pengikut aliran Bathiniyah menafsirkan ayat al-Qur’an hanya
mengikuti hawa nafsu dan hanya mempermainkan ayat-ayat Tuhan. Karena itu,mereka
sering disebut dengan sebutan Kafir Zindiq.[26]
2.
Menurut Imam Al-Zarqani
bahwa golongan Bathiniyyah tidak mengacuhkan sama sekali tata bahasa Arab dalam
memahami al-Qur’an. Mereka dalam memahami hanya menghayal dan menyatakan diri
sebagai ahli hakikat yang telah sampai kepada titik puncak langsung behubungan
dengan Allah,sehingga mereka bebas dari Syari’at. Bahkan,mereka dianggap keluar dari kebenaran
serta menyesatkan.[27]
3.
Menurut Imam an-nasafi dan
at-Taftazani menjelaskan bahwa tafsir bathini adalah penafsiran orang
kafir yang menyelewengkan makna ayat-ayat al-Qur’an sedangkan tafsir al-Isyari
adalah penafsiran orang yang arif billah.Menurut mereka,penafsiran
dengan metode bathiniyah sangat menyimpang dari nash yang sesungguhnya
dalam makna al-Qur’an,tujuan mereka dalam penafsiran ini tidak lain adalah
untuk menghapus syari’at serta hukum agama.[28]
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Al-Dzahabî Muhammad
Husain, Al-Tafsîr Wa Al-Mufassirûn,
Mesir: Dâr Al-Maktûb Al-Hadîtsah, 1976
Al-Jalind Muhammad
al-Said, al-Imam Ibnu Taimiyah wa
Mauqifuhu min qadhiyati al-Ta’wil, Kairo, 1972
Al-Jurjani,
A-Ta’rif, Al-Thaba’ah wa Al-Nasyr wa Al-tauzi’, Jeddah, t. t.,
Al-Shâbûnî, Muhammad
‘Alî, Al-Thibyân Fî ‘Ulûm Al-Qur’ân,
Beirut: Alam al-Kutub, t.th
Al-Shâbûnî, Muhammad
‘Alî, Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,
Surabaya: Al-Ikhlas, 1983
Al-Shiddieqy, Hasbi,
Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Quran, Jakarta, Bulan Bintang, Bandung, 1994,
hlm. 178
Al-Qanuji, al-‘Ulum
al-Wasyi al-Marqum Fi Bayan Ahwal al-‘Ulum, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1978
Anwar, Rosihon, Menelusuri
Ruang Batin Al-Qur’a: Belajar Tafsir Batin Pada Allamah Thabathaba’i Jakarta:
Erlangga, 2010
Anwar, Rosihon, , Samudera al-Qur’an, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001
Anwar, Rosihon, Penafsiran
Al-Qur’an Perspektif Nabi Muhammad, Bandung: Pustaka Setia, 1999 terjemahan
dari Al-Tafsir al-Nabawi: Khasaishah wa mashadirah karya Muhammad ‘Abd
Rahim
Habil, Abdurrahman, Traditional
Esoteric Commentaries On The Quran, dalam Sayyed Hossein (Ed), Islamic
Spirituality Foundation, New York:Crossroad, 1991
Hadi, ‘Abdul Tawwab
‘Abdul, Lambang-Lambang Sufi Didalam al-Qur’an, terj. Afif Muhammad dari
Al-Ramziyyah Al-Shufiyyah Fi al-Qur’an al-Karim, Bandung: Pustaka, 1986
Mahmud,
‘Abd Al-Halim, Manahij Al-Mufassirin, Mesir: Dar Al-Katib, 1987
Nasr, Sayyed Hossein, Ideals
and Realities Of Islam (London: George Allen & Unwin Ltd, 1975) Cet.
II, h. 160
Prihananto, “Profil
Seorang Pemikir Filsafat Islam Modern: Thabathaba’î”, dalam Jurnal IAIN
Walisongo, Edisi XVI, Juli-September 1999.
Shihab,
M. Quraish, Kaidah Tafsir, Tanggerang:
Lentera Hati, 2013
Shihab,
M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992
Quasem, Muhammad Abul, Al-Ghazali’s Theory Of Qur’an Exegesis
Acording to One’s Personal Opinion, dalam A.H. Johns (E.d), International Congress fo The Stuy Of The
Qur’an, Canberra: Australian National University, 1980
[1] Al-Jurjani,
At-Ta’rifa, At-Thaba’ah wa An-Nasyr wa At-tauzi’, Jeddah, t. t.,hlm. 63
[2] Ash shiddieqy, TM
Hasbi, Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Quran, Jakarta, Bulan Bintang, Bandung,
1994, hlm. 178
[3] Rosihon Anwar, Menelusuri
Ruang Batin Al-Qur’a: Belajar Tafsir Batin Pada Allamah Thabathaba’i (Jakarta:
Erlangga, 2010) h. 109
[4] Al-Qanuji, al-‘Ulum
al-Wasyi al-Marqum Fi Bayan Ahwal al-‘Ulum (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1978), V.II, h. 183
[5] Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992) h. 16
[6] ‘Abdul Tawwab ‘Abdul
Hadi, Lambang-Lambang Sufi Didalam al-Qur’an, terj. Afif Muhammad dari Al-Ramziyyah
Al-Shufiyyah Fi al-Qur’an al-Karim (Bandung: Pustaka, 1986)
[7] Sayyed Hossein Nasr, Ideals
and Realities Of Islam (London: George Allen & Unwin Ltd, 1975) Cet.
II, h. 160
[8] Rosihon Anwar, Penafsiran
Al-Qur’an Perspektif Nabi Muhammad (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
terjemahan dari Al-Tafsir al-Nabawi: Khasaishah wa mashadirah karya
Muhammad ‘Abd Rahim
[9] Rosihon Anwar, Menelusuri
Ruang Batin Al-Qur’an,… h. 71
[10] Abdurrahman Habil, Traditional
Esoteric Commentaries On The Quran, dalam Sayyed Hossein Nasr (Ed),
Islamic Spirituality Foundation (New York:Crossroad, 1991) h. 30
[11] ‘Abd Al-Halim Mahmud,
Manahij Al-Mufassirin, (Mesir: Dar
Al-Katib, 1987) Volume I, h. 55
[12] Muhammad Abul Quasem,
Al-Ghazali’s Theory Of Qur’an Exegesis
Acording to One’s Personal Opinion, dalam A.H. Johns (E.d), International Congress fo The Stuy Of The
Qur’an, (Canberra: Australian National University, 1980) h. 69
[13] Abdurrahman Habil, Traditional
Esoteric Commentaries On The Quran,… h.
37
[14] Ibid, h. 39
[15] Prihananto, “Profil
Seorang Pemikir Filsafat Islam Modern: Thabatha’I”, dalam Jurnal IAIN
Walisongo, Edisi XVI, Juli-September 1999.
[16] Thabâthabâ’i, Al-Mîzân, (t.tp: t.p, t.th), volume V,
h. 281
[17] Muhammad Husain
Al-Dzahabî, Al-Tafsîr Wa Al-Mufassirûn
(Mesir: Dâr Al-Maktûb Al-Hadîtsah, 1976) volume II, h. 358
[18] ‘Alî Al-Shâbûnî, Al-Thibyân Fî ‘Ulûm Al-Qur’ân (Beirut:
Alam al-Kutub, t.th) h. 179
[19] Maksudnya:
datangkanlah kitab yang baru untuk kami baca yang tidak ada di dalamnya hal-hal
kebangkitan kubur, hidup sesudah mati dan sebagainya.
[20] Maksudnya: gantilah
ayat-ayat yang menerangkan siksa dengan ayat-ayat yang menerangkan rahmat, dan
yang mencela tuhan-tuhan kami dengan yang memujinya dan sebagainya.
[21] Muhammad ‘Alî
Al-Shâbûnî, Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an
(Surabaya: Al-Ikhlas, 1983) h. 228
[23] Muhammad al-Said
al-Jalind, al-Imam Ibnu Taimiyah wa
Mauqifuhu min qadhiyati al-Ta’wil, (Kairo, 1972) h. 292
[24] Muhammad Husain
Al-Dzahabî, Al-Tafsîr Wa Al-Mufassirûn,…
Volume II, h. 229
[25] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tanggerang: Lentera
Hati, 2013) h:373
[26] Muhammad ‘Alî
Al-Shâbûnî, Pengantar Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an,… h. 204
[27] Ibid, h. 211
[28] Ibid, h. 205
Tidak ada komentar:
Posting Komentar