Rabu, 17 Desember 2014

Tariqat Mu'Tabarah Di Indonesia (Khalwatiyah, Syattariyah, Sammaniyah, Tijaniyah)




PENDAHULUAN
Perkembangan dan Kemajuan tariqat terjadi pada abad ke-6 dan ke-7 Hijriyah. Syaih Abdul Qadir Jailani yang mendirikan Tariqat pada awal abad ke- 6 H, yang kemudian disusul oleh tariqat tariqat lainya. Semua Tariqat yang berkembang dalam pereode ini merupakan kesinambungan Tasawwuf Al-Ghazali. Dengan berdirinya berbagai Tariqat, tasawuf mengalami tahap perkembangan baru sampai sekarang.[1]
Proses kegiatan Tariqat umumnya dimulai dengan pengambilan “sumpah” bai’at dari murid di hadapan syaikh setelah sang murid melakukan taubat dari segala maksiat. Setelah itu  murid menjalani Tariqat dengan maksimal hingga mencapai titik kesempurnaan dan mendapatkan ijazah lalu menjadi khalifah Syaikh atau mendirikan tariqat lain jika diizinkan. Oleh karena itu, dalam tareqat disepakati bahwa tariqat mempunyai tiga ciri umum: Syaikh, murid dan bai’at. Walaupun model pengangkatan  pemimpinya tidak semuanya sama.
Pertumbuhan tariqat di Indonesia berjalan seiring dengan perkembanganya di Negara- Negara Islam. Setiap putra Indonesia yang belajar  dan kembali dari menuntut ilmu di makkah dapat dipastikan membawa ijazah  dari syaihnya untuk mengajarkan kembali taroqat tertentu di Indonesia. Fansuri misalnya, adalah syaih tariqat Qadariyah; Abd Al- Ra’uf Sinkel adalah Syaih tariqat Syatariyah; dan Al- Falimbani adalah syaikh tariqat Sammaniyah. Beliau yang memperkenalkan tariqat tersebut di Indonesia.



PEMBAHASAN
A.    Tariqat Khalwatiyah
Tarekat khalwatiyah di Indonesia banyak dianut oleh suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, atau tempat-tempat lain dimana suku itu berada seperti Riau, Malaysia, Kalimantan Timur, Ambon, dan Irian Barat.
Nama khalwatiyah diambil dari nama seorang sufi ulama dan pejuang Makassar abad ke-17, Syaikh Yusuf Al Makassari Al khalwati (tabarruk terhadap Muhammad Nur Al Khalwati Al Khawarizmi (w.751/1350)), yang sampai sekarang masih dihormati. Sekarang terdapat dua cabang terpisah dari tarekat ini yang hadir bersama. Keduanya dikenal dengan nama Tarekat Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Samman. Pengikut kedua cabang tarekat ini secara keseluruhan mencakup 5% dari penduduk provinsi yang berumur diatas 15 tahun, pengikut yang berada di Maros mencapai dua pertiga dari jumlah penduduk dewasa di daerah tersebut.[2]
Tarekat Khalwatiyah Yusuf disandarkan kepada nama Syaikh Yusuf Al Makassari dan Tarekat Khalwatiyah Samman diambil dari nama seorang sufi Madinah abad ke-18 Muhammad Al Samman. Kedua cabang tarekat ini muncul sebagai tarekat yang sama sekali berbeda, masing-masing berdiri sendiri, tidak terdapat banyak kesamaan selain kesamaan nama. Terdapat berbagai perbedaan dalam hal amalan, organisasi, dan komposisi sosial pengikutnya. Tarekat Khalwatiyah Yusuf dalam berdzikir mewiridkan nama-nama Tuhan dan kalimat-kalimat singkat lainnya secara sirr dalam hati, sedangkan Tarekat Khalwatiyah Samman melakukan dzikir dan wiridnya dengan suara keras dan ekstatik.
Tarekat Khalwatiyah Samman sangat terpusat, semua gurunya tunduk kepada pimpinan puat di Maros, sedangkan Tarekat Khalwatiyah Yusuf tidak mempunyai pimpinan pusat. Cabang-cabang lokal Tarekat Khalwatiyah Samman sering kali memiliki tempat ibadah sendiri (musholla, langgar) dan cenderung mengisolasi diri dari pengikut Tarekat lain, sementara pengikut Khalwatiyah Yusuf tidak mempunyai tempat ibadah khusus dan bebas bercampur dengan masyarakat yang tidak menjadi anggota Tarekat.
Anggota Tarekat Khalwatiyah Yusuf banyak berasal dari kalangan bangsawan Makassar termasuk penguasa kerjaan Gowa terakhir Andi Ijo Sultan Muhammad Abdul Qadir Aidid (berkuasa 1940-1960). Tarekat Khalwatiyah Samman lebih merakyat baik dalam hal gaya maupun komposisi sosial, sebagian besar pengikutnya orang desa.[3]
Ajaran-ajaran dasar tarekat khalwatiyah
  1. Yaqza : kesadaran akan dirinya sebagai makhluk yang hina di hadapan Allah SWT. Yang maha agung.
  2. Taubah : memohon ampunan atas segala dosa.
  3. Muhasabah : introspeksi diri.
  4. Inabah : berhasarat kebali kepada Allah.
  5. Tafakkur: merenung tentang kebesaran Allah.
  6. I’tisam : selalu bertindak sebagai khalifah Allah di bumi.
  7. Firar : lari dari kehidupan jahat dan keduniawian yang tidak berguna
  8. Riyadah : melatih diri dengan beramal sebanyak-banyaknya.
  9. Tasyakur: selalu bersyukur kepada Allah dengan mengabdi dan memuji-Nya.
  10. Sima’: mengonsentrasikan seluruh anggota tubuh dalam mengikuti perintah-perintah Allah terutama pendengaran.[4]
Murid harus tawajjuh, yaitu murid bertemu dan menerima pelajaran-pelajaran dasar khusus dari guru secara berhadap-hadapan. Di sini mursyid mengajarkan juga zikir-zikir tertentu, silsilah diberikan, sesudah itu diadakan baiat, talkin. Tahap awal yang harus dilakukan seorang calon murid menjelah pembaiatan adalah harus mengadakan penyucian batin, sikap dan perilaku yang tidak baik seperti:
  1. Hasad: sikap dengki terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada orang lain.
  2. Riya: mempertontonkan kekayaan atau amal supaya mendapat pujian dari orang lain.
  3. Ghibah: membicarakan orang lain yang bersifat celaan dan hinaan.[5]
Sesudah suci batinnya diisi dengan sikap dan perilaku terpuji seperti:
  1. Husn al-zhan: berbaik sangka kepada Allah dan manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya
  2. Husn al-khuluq: berakhlak baik terhadap Allah dan segala ciptaan-Nya
  3. Husn al-adab: bersopan santun terhadap Allah sebagai bukti taslim.[6]

B.     Tariqat Syattariyah
Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh pendirinya yakni Abdullah asy-Syattar.[7] Beliau tinggal di sebuah desa kecil di India bagian tengah. Beliau juga menulis sebuah kitab yakni  Lata’if al-Gaibiyyah, tentang prinsip-prinsip dasar ajaran Tarekat Syattariyyah,  yang disebut sebagai cara tercepat untuk mencapai tingkat ma’rifat.[8]
Di nusantara sendiri dikenal nama Syekh Abdul Rauf al-Sinkili. Yang mana beliau memiliki silsilah tariqat sampai kepada pendirinya. Sekembalinya abdurrauf al-sinkili dari haramayn pada awal paruh kedua abad 17 tepatnya pada tahun 1661 M, menjadi awal masuknya tarekat syattariyyah ke tanah nusantara. Setelah 19 tahun  beliau menghabiskan waktunya di haramayn untuk belajar tentang berbagai ilmu pengetahuan, seperti tafsir, hadist, fiqh, tasawuf, ilmu kalam dan lain-lain. Beliau belajar berbagai pengetahuan agama tersebut pada tidak kurang dari 15 orang guru, 27 ulama terkenal, dan 15 tokoh sufi kenamaan di Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha, Bait al-faqih, dan lain-lain. Sesampainya di Aceh, beliau langsung menjadi pusat perhatian, baik bagi masyarakat pada umumnya maupun kalangan Istana karena kedalaman pengetahuannya.[9]
Beliau dipercaya oleh sultanah safiyatuddin untuk menjadi Qodi malik al-adil,  pemuka agama yang bertanggung jawab terhadap berbagai permasalahan sosial-keagamaan. Karena kedudukan inilah al-sinkili lebih mudah menyebarkan gagasan-gagasan keagamaannya. Lebih dari itu, keadaan yang terjadi saat itu akibat kontroversi atau perdebadan panjang antara penganut doktrin ajaran wahdad al-wujud atau wujudiyyah, Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-sumatrai dengan Nuruddin al-Raniri, menjadikan beliau lebih dikenal karena keberadaannya menjadi penengah bagi konflik tersebut.
Pergelokan sosial-keagamaan yang terjadi di aceh, yang kemudian memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran keagamaan setempat, memberikan ruang khusus bagi tarekat syattariyyah untuk menjadi suatu pemahaman yang diminati, karena berbagai rumusan ajaran tarekat syattariyyah yang cenderung rekonsiliatif dengan selalu berusaha memadukan dua kecenderungan yang bertentangan. Kemudian, melalui perangai baik yang ditunjukkan oleh al-sinkili dalam menyikapi berbagai persoalan keagamaan di aceh, menjadikan beliau dikenal sebagai ulama santun yang luas pengetahuannya dan dihormati, sehingga menjadi daya tarik tersendiri. Tidak hanya bagi masyarakat aceh, tetapi juga bagi masyarakat muslim di wilayah lainnya. Hal ini dapat dibenarkan dari banyaknya murid yang datang ke aceh untuk menuntut ilmu kepada beliau.
Diantara murid-muridnya yang paling terkenal adalah syaikh burhanuddin dari ulakan, pariaman, sumatra barat dan syaikh abdul muhyi dari pamijahan, tasikmalaya, jawa barat. Dari keduanyalah kemudian akan kita temukan perkembangan tarikat syattariyyah di wilayah masing-masing. Syekh Burhanuddin menjadi khalifah utama bagi semua khalifah tarekat syattariyyah di wilayah sumatra barat periode berikutnya, sementara syekh abdul muhyi menjadi penyambung estafet terhubungkannya silsilah tarekat syattariyyah di wilayah jawa barat khususnya, dan jawa pda umumnya. Dari sinilah kemudian akan kita bahas penyebarannya di tanah nusantara, yakni di wilayah sumatra barat dan wilayah jawa barat.
Ajaran Dzikir Tarekat Syattariyah
Dalam kitab Al-Simt al-Majid, Syeikh Ahmad al-Qusyasyi, khalifah Tarekat Syattariyah di Haramayn, menjelaskan berbagai tuntutan dan ajaran bagi para penganut tarekat, termasuk di dalamnya Tarekat Syattariyah. Kitab ini berisi aturan dan tata tertib menjadi anggota tarekat, serta juga berisi tuntutan tentang tata cara dzikirnya.
Menurut al-Qusyasyi, gerbang pertama bagi seseorang untuk masuk ke dunia tarekat adalah baiat dan talqin. Oleh karnanya, dalam kitab ini, al-Qusyasyi menjelaskan secara detail tata cara baiat dan talqin tersebut, bahkan dia membedakan antara tata cara baiat bagi laki-laki perempuan, dan anak-anak.
Menurut al-Qasyasyi, tata cara dzikir, baiat, dan talqin yang dikemukakanya itu tidak khusus bagi para penganut tarekat syattariyah saja, melainkan bagi semua al-murdin li al-suluk, siapa pun yang menempuh dunia tasawuf. Hal ini dapat dimaklumi karna al-Qusyasyi memang bergabung dengan tidak kurang dari selusin jenis tarekat, meskipun ia lebih menonjol perananya dalam penyebaran tarekat syattariyah ke berbagai penjuru dunia melalui murid-muridnya, termasuk ke dunia Melayu-Indonesia. Meski demikian, di kemudian hari, model dzikir, baiat, dan talqin yang dikemukakan al-Qusyasyi ini hampir secara keseluruhan diikuti oleh para ulama tarekat Syattariyah di dunia Melayu-Indonesia.[10]
Praktek yoga yang merupakan ajaran agama hindu, diadopsi dan dipraktekkan menjadi bagian dari formulasi dzikir tarekat syattariyah, karna memang konsep dan ritual Islam, khususnya aspek tasawuf memiliki kedekatan dengan dengan ajaran Hindu.
Dalam apa yang disebut sebagai astanga-yoga misalnya, terdapat 5 hal berkaitan dengan latihan tubuh lahir, yakni: pengendalian diri, ketaatan, duduk dengan posisi tertentu, mengatur nafas dan menutup seluruh panca indra.

C.    Tariqat Sammaniyah
Nama Tarekat ini terambil dari nama seorang guru tasawuf yang masyhur yaitu Muhammad ibn ‘Abdul Karim al-Madani al-Syafi’i, yang dikenal dengan al-Sammani (1718 - 1775 M/1130 – 1189 H).[11] Beliau memiliki banyak murid tidak terkecuali dari Indonesia diantaranya,  M. Arsyad Al-Banjari, Abd Al-Rahman Al-Fathani, Abd Al-Shamad Al-Falembani, Tuan Haji Ahmad, dan Muhyidin Ibn Syihabuddin.[12] Tariqat ini masuk ke Indonesia dibawa oleh para ulama seperti yang disebutkan diatas setelah mereka menuntut ilmu di timur tengah , mereka kembali ke Indonesia membawa ajaran tariqat.

Diantaranya ajaran tariqat sammaniyah adalah:
Tawassul
Adalah memohon berkah kepada pihak tertentu yang dijadikan perantara agar yang dimaksud dapat tecapai. Hal ini sudah lazim dilakukan dalam dunia tasauf begitu juga halnya dengan tariqat sammaniyah.
Seperti misalnya syaikh Samman yang pernah berkata bahwa dirinya tidak mati, tetapi hanya pindah ke tempat yang tersembunyi. Kemudian ia berpesan untuk berwasilah kepadanya.
Wahdatul Wujud
Abd Al-Shamad juga memiliki pemahaman wahdatul wujud, ia meyakini bahwa akan adanya wujud Allah yang dikenal dengan wujudiyat muwahhid. Menurut Quzwain wujudiyat muwahhid sama dengan apa yang dianut oleh Ibn Arabi.[13] Berkaitan dengan tariqat sammaniyah beliau menulis dua karya utama Hidayah Al-Salikin dan Sair Al-salikin, yang berisi tentang cara berzikir dan lingkungan intelektual syaikh Samman.[14]
Nur Muhammad
Istilah ini sering juga disebut haqiqat Muhammad. Syaikh Samman mengatakan bahwa Nur Muhammad itu adalah salah satu rahasia dari seluruh rahasia Allah yang kemudian diberinya maqam. Nur Muhammad adalah yang pertama kali mewujud sebelum yangb lain, inilah pangkal terbentuknya alam semesta.[15]


D.    Tariqat Tijaniyah
Tariqat tijaniyah didirikan oleh Ahmad bin Muhammad Al-Tijani (1150-1230 H) yang lahir di Desa ‘Ain Madi, Aljazair Selatan dan meninggal di fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Syaikh Ahmad Tijani diyakini oleh kaum tijaniyah sebagai wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan memiliki banyak keramat, karena didukung oleh faktor genealogis, tradisi keluarga, dan proses penempaan dirinya.[16]
Beliau mengaku bahwa nasab belaiau sampai ke Rasulullah yakni Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Salim bin al-‘Idl bin Salim bin Ahmad bin ‘Ali-bin Ishaq bin Zain al-‘Abidin bin Ahmad bin Abi Talib, dari garis siti fatimah  al-zahra’ binti Muhammad Rasulullah SAW.[17]
Masuknya Tariqat Tijaniyah ke Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi ada dua macam fenomena yang menunjukkan gerakan awal Tariqat Tijaniyah, yaitu kehadiran syaikh ‘Ali bin Abd allah al-Thayyib, dan adanya pengajaran Tariqat Tijaniyah di pesantren Buntet, Cirebon. Kehadiran syaikh ‘Ali ibn ‘Abd allah al Thayyib tidak diketahui secara pasti tahunnya.
G.F. Pijper menyebutkan bahwa syaikh ‘Ali ibn Abdullah al-tayyib datang pertama kali keIndonesia saat menyebarkan Tariqat Tijaniyah ini, di Tasikmalaya. Namun disebutkan pula oleh Pijper bahwa syaikh ‘Ali ibn ‘Abdullah al-tayyib telah mendatangi berbagai daerah dipulau jawa sebelum ke Tasikmalaya.[18]
Syarat Masuk Tariqat Tijaniyah
Untuk masuk dalam tariqat Tijaniyah seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[19]
  1. Calon Ikhwan Tijani tidak mempunyai wirid tariqah.
  2. Mendapatkan talqin wirid Tariqah Tijaniyah dari orang yang mendapatkan izin yang sah untuk memberi wirid tariqah Tijaniyah.
Keterangan:
-          Apabila calon Ikhwan Tijani telah masuk Tariqah lainnya, maka harus dilepaskan. Karena Tariqah Tijaniyah tidak boleh dirangkap dengan Tariqah lainnya.
-          Wirid dari selain Syaikh Akhmad At-Tijani yang tidak termasuk ikatan Tariqah, seperti hizib-hizib, Shalawat dan sebagainya, boleh diwiridkan oleh Ikhwan Tijani selama tidak mengurangi kemantapannya terhadap Tariqah tijaniyah.

Larangan terhadap PemelukTariqah Tijaniyah
Adapun hal-hal yang tidak boleh dilakukakan oleh seorang pengikut  Tariqah Tijaniyah adalah sebagai berikut:[20]
  1. Tidak boleh mencaci, membenci,dan memusuhi Syaikh Ahmad At-Tijani.
  2. Tidak boleh ziarah kepada wali yang bukan Tijani, khusus mengenai rabithoh saja.
  3. Tidak boleh memberi wirid Tariqah Tijaniyah tanpa ada izin yang sah.
  4. Tidak boleh meremehkan wirid Tariqah Tijaniyah .
  5. Tidak boleh memutuskan hubungan dengan makhluk tanpa izin syara’, terutama dengan Ikhwan Tijani
  6. Tidak boleh merasa aman dari makrillah
Keterangan:
-  Ziarah kepada wali yng bukan Tijani yang tidak boleh adalah ziarah karena istimdad, tawassul dan do’a. sedang ziarah untuk silaturrahmi untuk mengaji/menuntuk ilmu atau ziarah semata-mata karena Allah ta’ala, maka boleh. Bagi Ikhwan Tijani yang belum tahu ziarah yang boleh dan ziarah yang tidak boleh, hendaknya jangan melaksanakan ziarah,karena bias membatalkan keterikatannya  dengan Tariqah Tijaniyah.
-  Yang dimaksud meremehkan wirid ialah musim-musiman dalam melaksanakan wirid Tariqah, mengundurkan waktunya tanpa adanya udzur.
-   Makrillah adalah siksa/adzab Allah yang tampaknya seperti rahmatNya.





KESIMPULAN

Pada umumnya tariqat banyak dibawa oleh para ulama Indonesia yang menuntut ilmu ke timur tengah dan kembali membawa ajaran tariqat, dan menyebarkannya di Indonesia. Diantaranya tariqat yang mu’tabarah di Nusantara adalah sebagai berikut:
1.      Tariqat Khalwatiyah
Nama khalwatiyah diambil dari nama seorang sufi ulama dan pejuang Makassar abad ke-17, Syaikh Yusuf Al Makassari Al khalwati (tabarruk terhadap Muhammad Nur Al Khalwati Al Khawarizmi (w.751/1350)), yang sampai sekarang masih dihormati.
2.      Tariqat Syattariyah
Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh pendirinya yakni Abdullah asy-Syattar. Beliau tinggal di sebuah desa kecil di India bagian tengah. Beliau juga menulis sebuah kitab yakni  Lata’if al-Gaibiyyah, tentang prinsip-prinsip dasar ajaran Tarekat Syattariyyah,  yang disebut sebagai cara tercepat untuk mencapai tingkat ma’rifat.
3.      Tariqat Samaniyah
Nama Tariqat ini terambil dari nama seorang guru tasawuf yang masyhur yaitu Muhammad ibn ‘Abdul Karim al-Madani al-Syafi’i, yang dikenal dengan al-Sammani (1718 - 1775 M/1130 – 1189 H).
4.      Tariqat Tijaniyah
Tariqat tijaniyah didirikan oleh Ahmad bin Muhammad Al-Tijani (1150-1230 H) yang lahir di Desa ‘Ain Madi, Aljazair Selatan dan meninggal di fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Syaikh Ahmad Tijani diyakini oleh kaum tijaniyah sebagai wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan memiliki banyak keramat, karena didukung oleh faktor genealogis, tradisi keluarga, dan proses penempaan dirinya.
Pada intinya semua tariqat tersebut adalah sebagai guide atau pembimbing kita dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII,Bandung: Mizan, 1995
Buruinessen, Martin Van, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1995
Al-Falimbani, Muhyidin Ibn Syihabuddin, Hikayat Syaikh Muhammad Samman, terj. Aliyudin Mahyudin, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1980Syihab, DR. Alwie, Phd,  Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, Akar Tasawuf Di Indonesia, tt: Pustaka Iman, 2009
Hamid, Abu, Syaikh Yusuf tajul Khalwati; Suatu Kajian Antroologi Agama, Ujung Pandang: Disertasi Ph.D Universitas Hasanuddin, 1990
Luthfi, Muhammad dan M Chabib Thoha, Mengenal Thariqah, Semarang: CV Aneka Ilmu, 2005
Mulyati, Sri, dkk,  Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2005
Musthafa, Drs. H.A, Akhlak Tasauf, Bandung: Pustaka Setia, 1997
Pijper, G.H, Fragmenta Islamica: Beberapa Studi tentang Islam Di Indonesia abad ke XX, terj. Tudjimah, Jakarta: UI Press, 1987
Purwadaksi, Ahmad, Ratib Samman dan Hikayat Syaikhb Muhammad Samman: Suntingan Naskah dan Kajian Isi Teks, Disertasi, Jur. Ilmu Sastra fak. Sastra Universitas Indonesia, 1992
Quzwain, M. Chatib, Mengenal Allah, Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasauf Syaikh Abd Al-Shamad Al-Falimbani, Jakarta: Bulan Bintang, 1985
Al-Tasfawi, Muhammad Ibn Abdullah, AL-Fath Al-Rabbani Fi Masyarakat Yahtaj Ilah Al-Murid Al-Tajani, Surabaya: Sa’id Nabhan, t.th


[1] DR. Alwie Syihab, Phd,  Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, Akar Tasawuf Di Indonesia, (tt: Pustaka Iman, 2009) h. 184
[2] Sri Mulyati, dkk,  Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2005) h. 117
[3] Martin Van Buruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1995) h. 286
[4] Abu Hamid, Syaikh Yusuf tajul Khalwati; Suatu Kajian Antroologi Agama, (Ujung Pandang: Disertasi Ph.D Universitas Hasanuddin, 1990) h.181
[5] Ibid, h. 180
[6] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII,(Bandung: Mizan, 1995) h. 212
[7] Drs. H.A Musthafa, Akhlak Tasauf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997) h. 290
[8] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia... h. 155
[9] Ibid, h. 162
[10] Ibid, h. 194
[11] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama .... h. 159
[12] Muhyidin Ibn Syihabuddin Al-Falimbani, Hikayat Syaikh Muhammad Samman, terj. Aliyudin Mahyudin, (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1980) h. 12
[13] M. Chatib Quzwain, Mengenal Allah, Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasauf Syaikh Abd Al-Shamad Al-Falimbani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985) h. 44
[14] [14] Martin Van Buruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat.... h. 63
[15] Ahmad Purwadaksi, Ratib Samman dan Hikayat Syaikhb Muhammad Samman: Suntingan Naskah dan Kajian Isi Teks, Disertasi, Jur. Ilmu Sastra fak. Sastra Universitas Indonesia, 1992, h. 410
[16] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia... h. 217
[17] Muhammad Ibn Abdullah Al-Tasfawi, AL-Fath Al-Rabbani Fi Masyarakat Yahtaj Ilah Al-Murid Al-Tajani, (Surabaya: Sa’id Nabhan, t.th) h. 7
[18] G.H Pijper, Fragmenta Islamica: Beberapa Studi tentang Islam Di Indonesia abad ke XX, terj. Tudjimah, (Jakarta: UI Press, 1987) h. 82
[19] Muhammad Luthfi dan M Chabib Thoha, Mengenal Thariqah (Semarang: CV Aneka Ilmu, 2005), 55-56
[20] Ibid, h. 56-57