PENDAHULUAN
Perkembangan
dan Kemajuan tariqat terjadi pada abad ke-6 dan ke-7 Hijriyah. Syaih Abdul
Qadir Jailani yang mendirikan Tariqat pada awal abad ke- 6 H, yang kemudian
disusul oleh tariqat tariqat lainya. Semua Tariqat yang berkembang dalam pereode
ini merupakan kesinambungan Tasawwuf Al-Ghazali. Dengan berdirinya berbagai
Tariqat, tasawuf mengalami tahap perkembangan baru sampai sekarang.[1]
Proses
kegiatan Tariqat umumnya dimulai dengan pengambilan “sumpah” bai’at dari murid
di hadapan syaikh setelah sang murid melakukan taubat dari segala maksiat.
Setelah itu murid menjalani Tariqat dengan maksimal hingga mencapai titik
kesempurnaan dan mendapatkan ijazah lalu menjadi khalifah Syaikh atau
mendirikan tariqat lain jika diizinkan. Oleh karena itu, dalam tareqat
disepakati bahwa tariqat mempunyai tiga ciri umum: Syaikh, murid dan bai’at.
Walaupun model pengangkatan pemimpinya tidak semuanya sama.
Pertumbuhan
tariqat di Indonesia berjalan seiring dengan perkembanganya di Negara- Negara
Islam. Setiap putra Indonesia yang belajar dan kembali dari menuntut ilmu
di makkah dapat dipastikan membawa ijazah dari syaihnya untuk
mengajarkan kembali taroqat tertentu di Indonesia. Fansuri misalnya, adalah
syaih tariqat Qadariyah; Abd Al- Ra’uf Sinkel adalah Syaih tariqat Syatariyah;
dan Al- Falimbani adalah syaikh tariqat Sammaniyah. Beliau yang memperkenalkan
tariqat tersebut di Indonesia.
PEMBAHASAN
A. Tariqat Khalwatiyah
Tarekat
khalwatiyah di Indonesia banyak dianut oleh suku Bugis dan Makassar di Sulawesi
Selatan, atau tempat-tempat lain dimana suku itu berada seperti Riau, Malaysia,
Kalimantan Timur, Ambon, dan Irian Barat.
Nama
khalwatiyah diambil dari nama seorang sufi ulama dan pejuang Makassar abad
ke-17, Syaikh Yusuf Al Makassari Al khalwati (tabarruk terhadap Muhammad
Nur Al Khalwati Al Khawarizmi (w.751/1350)), yang sampai sekarang masih
dihormati. Sekarang terdapat dua cabang terpisah dari tarekat ini yang hadir
bersama. Keduanya dikenal dengan nama Tarekat Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah
Samman. Pengikut kedua cabang tarekat ini secara keseluruhan mencakup 5% dari
penduduk provinsi yang berumur diatas 15 tahun, pengikut yang berada di Maros
mencapai dua pertiga dari jumlah penduduk dewasa di daerah tersebut.[2]
Tarekat
Khalwatiyah Yusuf disandarkan kepada nama Syaikh Yusuf Al Makassari dan Tarekat
Khalwatiyah Samman diambil dari nama seorang sufi Madinah abad ke-18 Muhammad
Al Samman. Kedua cabang tarekat ini muncul sebagai tarekat yang sama sekali
berbeda, masing-masing berdiri sendiri, tidak terdapat banyak kesamaan selain
kesamaan nama. Terdapat berbagai perbedaan dalam hal amalan, organisasi, dan
komposisi sosial pengikutnya. Tarekat Khalwatiyah Yusuf dalam berdzikir
mewiridkan nama-nama Tuhan dan kalimat-kalimat singkat lainnya secara sirr dalam
hati, sedangkan Tarekat Khalwatiyah Samman melakukan dzikir dan wiridnya dengan
suara keras dan ekstatik.
Tarekat
Khalwatiyah Samman sangat terpusat, semua gurunya tunduk kepada pimpinan puat
di Maros, sedangkan Tarekat Khalwatiyah Yusuf tidak mempunyai pimpinan pusat.
Cabang-cabang lokal Tarekat Khalwatiyah Samman sering kali memiliki tempat
ibadah sendiri (musholla, langgar) dan cenderung mengisolasi diri dari pengikut
Tarekat lain, sementara pengikut Khalwatiyah Yusuf tidak mempunyai tempat ibadah
khusus dan bebas bercampur dengan masyarakat yang tidak menjadi anggota
Tarekat.
Anggota
Tarekat Khalwatiyah Yusuf banyak berasal dari kalangan bangsawan Makassar
termasuk penguasa kerjaan Gowa terakhir Andi Ijo Sultan Muhammad Abdul Qadir
Aidid (berkuasa 1940-1960). Tarekat Khalwatiyah Samman lebih merakyat baik
dalam hal gaya maupun komposisi sosial, sebagian besar pengikutnya orang desa.[3]
Ajaran-ajaran
dasar tarekat khalwatiyah
- Yaqza : kesadaran akan dirinya sebagai makhluk yang hina di hadapan Allah SWT. Yang maha agung.
- Taubah : memohon ampunan atas segala dosa.
- Muhasabah : introspeksi diri.
- Inabah : berhasarat kebali kepada Allah.
- Tafakkur: merenung tentang kebesaran Allah.
- I’tisam : selalu bertindak sebagai khalifah Allah di bumi.
- Firar : lari dari kehidupan jahat dan keduniawian yang tidak berguna
- Riyadah : melatih diri dengan beramal sebanyak-banyaknya.
- Tasyakur: selalu bersyukur kepada Allah dengan mengabdi dan memuji-Nya.
- Sima’: mengonsentrasikan seluruh anggota tubuh dalam mengikuti perintah-perintah Allah terutama pendengaran.[4]
Murid
harus tawajjuh, yaitu murid bertemu dan menerima pelajaran-pelajaran
dasar khusus dari guru secara berhadap-hadapan. Di sini mursyid mengajarkan
juga zikir-zikir tertentu, silsilah diberikan, sesudah itu diadakan baiat,
talkin. Tahap awal yang harus dilakukan seorang calon murid menjelah pembaiatan
adalah harus mengadakan penyucian batin, sikap dan perilaku yang tidak baik
seperti:
- Hasad: sikap dengki terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada orang lain.
- Riya: mempertontonkan kekayaan atau amal supaya mendapat pujian dari orang lain.
- Ghibah: membicarakan orang lain yang bersifat celaan dan hinaan.[5]
Sesudah
suci batinnya diisi dengan sikap dan perilaku terpuji seperti:
- Husn al-zhan: berbaik sangka kepada Allah dan manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya
- Husn al-khuluq: berakhlak baik terhadap Allah dan segala ciptaan-Nya
- Husn al-adab: bersopan santun terhadap Allah sebagai bukti taslim.[6]
B. Tariqat Syattariyah
Tarekat
ini dinisbahkan kepada tokoh pendirinya yakni Abdullah asy-Syattar.[7] Beliau
tinggal di sebuah desa kecil di India bagian tengah. Beliau juga menulis sebuah
kitab yakni Lata’if al-Gaibiyyah, tentang prinsip-prinsip dasar
ajaran Tarekat Syattariyyah, yang disebut sebagai cara tercepat untuk
mencapai tingkat ma’rifat.[8]
Di
nusantara sendiri dikenal nama Syekh Abdul Rauf al-Sinkili. Yang mana beliau
memiliki silsilah tariqat sampai kepada pendirinya. Sekembalinya abdurrauf
al-sinkili dari haramayn pada awal paruh kedua abad 17 tepatnya pada tahun 1661
M, menjadi awal masuknya tarekat syattariyyah ke tanah nusantara. Setelah 19
tahun beliau menghabiskan waktunya di haramayn untuk belajar tentang
berbagai ilmu pengetahuan, seperti tafsir, hadist, fiqh, tasawuf, ilmu kalam
dan lain-lain. Beliau belajar berbagai pengetahuan agama tersebut pada tidak
kurang dari 15 orang guru, 27 ulama terkenal, dan 15 tokoh sufi kenamaan di
Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha, Bait al-faqih, dan lain-lain. Sesampainya di Aceh, beliau langsung menjadi
pusat perhatian, baik bagi masyarakat pada umumnya maupun kalangan Istana
karena kedalaman pengetahuannya.[9]
Beliau
dipercaya oleh sultanah safiyatuddin untuk menjadi Qodi malik al-adil, pemuka
agama yang bertanggung jawab terhadap berbagai permasalahan sosial-keagamaan.
Karena kedudukan inilah al-sinkili lebih mudah menyebarkan gagasan-gagasan
keagamaannya. Lebih dari itu, keadaan yang terjadi saat itu akibat kontroversi
atau perdebadan panjang antara penganut doktrin ajaran wahdad al-wujud atau
wujudiyyah, Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-sumatrai dengan Nuruddin
al-Raniri, menjadikan beliau lebih dikenal karena keberadaannya menjadi
penengah bagi konflik tersebut.
Pergelokan
sosial-keagamaan yang terjadi di aceh, yang kemudian memberikan pengaruh besar
terhadap pemikiran keagamaan setempat, memberikan ruang khusus bagi tarekat
syattariyyah untuk menjadi suatu pemahaman yang diminati, karena berbagai
rumusan ajaran tarekat syattariyyah yang cenderung rekonsiliatif dengan selalu
berusaha memadukan dua kecenderungan yang bertentangan. Kemudian, melalui
perangai baik yang ditunjukkan oleh al-sinkili dalam menyikapi berbagai
persoalan keagamaan di aceh, menjadikan beliau dikenal sebagai ulama santun
yang luas pengetahuannya dan dihormati, sehingga menjadi daya tarik tersendiri.
Tidak hanya bagi masyarakat aceh, tetapi juga bagi masyarakat muslim di wilayah
lainnya. Hal ini dapat dibenarkan dari banyaknya murid yang datang ke aceh
untuk menuntut ilmu kepada beliau.
Diantara
murid-muridnya yang paling terkenal adalah syaikh burhanuddin dari ulakan,
pariaman, sumatra barat dan syaikh abdul muhyi dari pamijahan, tasikmalaya,
jawa barat. Dari keduanyalah kemudian akan kita temukan perkembangan tarikat
syattariyyah di wilayah masing-masing. Syekh Burhanuddin menjadi khalifah utama
bagi semua khalifah tarekat syattariyyah di wilayah sumatra barat periode
berikutnya, sementara syekh abdul muhyi menjadi penyambung estafet
terhubungkannya silsilah tarekat syattariyyah di wilayah jawa barat khususnya,
dan jawa pda umumnya. Dari sinilah kemudian akan kita bahas penyebarannya di
tanah nusantara, yakni di wilayah sumatra barat dan wilayah jawa barat.
Ajaran
Dzikir Tarekat Syattariyah
Dalam
kitab Al-Simt al-Majid, Syeikh Ahmad al-Qusyasyi, khalifah Tarekat Syattariyah
di Haramayn, menjelaskan berbagai tuntutan dan ajaran bagi para penganut
tarekat, termasuk di dalamnya Tarekat Syattariyah. Kitab ini berisi aturan dan
tata tertib menjadi anggota tarekat, serta juga berisi tuntutan tentang tata
cara dzikirnya.
Menurut
al-Qusyasyi, gerbang pertama bagi seseorang untuk masuk ke dunia tarekat adalah
baiat dan talqin. Oleh karnanya, dalam kitab ini, al-Qusyasyi menjelaskan
secara detail tata cara baiat dan talqin tersebut, bahkan dia membedakan antara
tata cara baiat bagi laki-laki perempuan, dan anak-anak.
Menurut
al-Qasyasyi, tata cara dzikir, baiat, dan talqin yang dikemukakanya itu tidak
khusus bagi para penganut tarekat syattariyah saja, melainkan bagi semua
al-murdin li al-suluk, siapa pun yang menempuh dunia tasawuf. Hal ini dapat
dimaklumi karna al-Qusyasyi memang bergabung dengan tidak kurang dari selusin
jenis tarekat, meskipun ia lebih menonjol perananya dalam penyebaran tarekat
syattariyah ke berbagai penjuru dunia melalui murid-muridnya, termasuk ke dunia
Melayu-Indonesia. Meski demikian, di kemudian hari, model dzikir, baiat, dan
talqin yang dikemukakan al-Qusyasyi ini hampir secara keseluruhan diikuti oleh
para ulama tarekat Syattariyah di dunia Melayu-Indonesia.[10]
Praktek
yoga yang merupakan ajaran agama hindu, diadopsi dan dipraktekkan menjadi
bagian dari formulasi dzikir tarekat syattariyah, karna memang konsep dan
ritual Islam, khususnya aspek tasawuf memiliki kedekatan dengan dengan ajaran
Hindu.
Dalam
apa yang disebut sebagai astanga-yoga misalnya, terdapat 5 hal berkaitan dengan
latihan tubuh lahir, yakni: pengendalian diri, ketaatan, duduk dengan posisi
tertentu, mengatur nafas dan menutup seluruh panca indra.
C. Tariqat Sammaniyah
Nama Tarekat ini terambil dari nama seorang guru tasawuf
yang masyhur yaitu Muhammad ibn ‘Abdul Karim al-Madani al-Syafi’i, yang dikenal
dengan al-Sammani (1718 - 1775 M/1130 – 1189 H).[11]
Beliau memiliki banyak murid tidak terkecuali dari Indonesia diantaranya, M. Arsyad Al-Banjari, Abd Al-Rahman
Al-Fathani, Abd Al-Shamad Al-Falembani, Tuan Haji Ahmad, dan Muhyidin Ibn
Syihabuddin.[12]
Tariqat ini masuk ke Indonesia dibawa oleh para ulama seperti yang disebutkan
diatas setelah mereka menuntut ilmu di timur tengah , mereka kembali ke
Indonesia membawa ajaran tariqat.
Diantaranya ajaran tariqat sammaniyah adalah:
Tawassul
Adalah memohon berkah kepada pihak tertentu yang
dijadikan perantara agar yang dimaksud dapat tecapai. Hal ini sudah lazim
dilakukan dalam dunia tasauf begitu juga halnya dengan tariqat sammaniyah.
Seperti misalnya syaikh Samman yang pernah berkata bahwa
dirinya tidak mati, tetapi hanya pindah ke tempat yang tersembunyi. Kemudian ia
berpesan untuk berwasilah kepadanya.
Wahdatul Wujud
Abd Al-Shamad juga memiliki pemahaman wahdatul wujud, ia
meyakini bahwa akan adanya wujud Allah yang dikenal dengan wujudiyat
muwahhid. Menurut Quzwain wujudiyat muwahhid sama dengan apa yang
dianut oleh Ibn Arabi.[13]
Berkaitan dengan tariqat sammaniyah beliau menulis dua karya utama Hidayah
Al-Salikin dan Sair Al-salikin, yang berisi tentang cara berzikir
dan lingkungan intelektual syaikh Samman.[14]
Nur Muhammad
Istilah ini sering juga disebut haqiqat Muhammad. Syaikh
Samman mengatakan bahwa Nur Muhammad itu adalah salah satu rahasia dari seluruh
rahasia Allah yang kemudian diberinya maqam. Nur Muhammad adalah yang pertama
kali mewujud sebelum yangb lain, inilah pangkal terbentuknya alam semesta.[15]
D. Tariqat Tijaniyah
Tariqat tijaniyah didirikan oleh Ahmad bin Muhammad
Al-Tijani (1150-1230 H) yang lahir di Desa ‘Ain Madi, Aljazair Selatan dan
meninggal di fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Syaikh Ahmad Tijani diyakini
oleh kaum tijaniyah sebagai wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan
memiliki banyak keramat, karena didukung oleh faktor genealogis, tradisi
keluarga, dan proses penempaan dirinya.[16]
Beliau mengaku bahwa nasab belaiau sampai ke Rasulullah
yakni Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Salim bin al-‘Idl bin Salim bin Ahmad bin
‘Ali-bin Ishaq bin Zain al-‘Abidin bin Ahmad bin Abi Talib, dari garis siti
fatimah al-zahra’ binti Muhammad Rasulullah SAW.[17]
Masuknya
Tariqat Tijaniyah ke Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi ada dua
macam fenomena yang menunjukkan gerakan awal Tariqat Tijaniyah, yaitu kehadiran
syaikh ‘Ali bin Abd allah al-Thayyib, dan adanya pengajaran Tariqat Tijaniyah
di pesantren Buntet, Cirebon. Kehadiran syaikh ‘Ali ibn ‘Abd allah al Thayyib
tidak diketahui secara pasti tahunnya.
G.F.
Pijper menyebutkan bahwa syaikh ‘Ali ibn Abdullah al-tayyib datang pertama kali
keIndonesia saat menyebarkan Tariqat Tijaniyah ini, di Tasikmalaya. Namun
disebutkan pula oleh Pijper bahwa syaikh ‘Ali ibn ‘Abdullah al-tayyib telah
mendatangi berbagai daerah dipulau jawa sebelum ke Tasikmalaya.[18]
Syarat
Masuk Tariqat Tijaniyah
Untuk
masuk dalam tariqat Tijaniyah seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:[19]
- Calon Ikhwan Tijani tidak mempunyai wirid tariqah.
- Mendapatkan talqin wirid Tariqah Tijaniyah dari orang yang mendapatkan izin yang sah untuk memberi wirid tariqah Tijaniyah.
Keterangan:
-
Apabila calon Ikhwan Tijani telah masuk Tariqah lainnya, maka harus dilepaskan.
Karena Tariqah Tijaniyah tidak boleh dirangkap dengan Tariqah lainnya.
-
Wirid dari selain Syaikh Akhmad At-Tijani yang tidak termasuk ikatan Tariqah,
seperti hizib-hizib, Shalawat dan sebagainya, boleh diwiridkan oleh Ikhwan
Tijani selama tidak mengurangi kemantapannya terhadap Tariqah tijaniyah.
Larangan terhadap PemelukTariqah
Tijaniyah
Adapun
hal-hal yang tidak boleh dilakukakan oleh seorang pengikut Tariqah
Tijaniyah adalah sebagai berikut:[20]
- Tidak boleh mencaci, membenci,dan memusuhi Syaikh Ahmad At-Tijani.
- Tidak boleh ziarah kepada wali yang bukan Tijani, khusus mengenai rabithoh saja.
- Tidak boleh memberi wirid Tariqah Tijaniyah tanpa ada izin yang sah.
- Tidak boleh meremehkan wirid Tariqah Tijaniyah .
- Tidak boleh memutuskan hubungan dengan makhluk tanpa izin syara’, terutama dengan Ikhwan Tijani
- Tidak boleh merasa aman dari makrillah
Keterangan:
- Ziarah
kepada wali yng bukan Tijani yang tidak boleh adalah ziarah karena istimdad,
tawassul dan do’a. sedang ziarah untuk silaturrahmi untuk mengaji/menuntuk ilmu
atau ziarah semata-mata karena Allah ta’ala, maka boleh. Bagi Ikhwan Tijani
yang belum tahu ziarah yang boleh dan ziarah yang tidak boleh, hendaknya jangan
melaksanakan ziarah,karena bias membatalkan keterikatannya dengan Tariqah
Tijaniyah.
- Yang
dimaksud meremehkan wirid ialah musim-musiman dalam melaksanakan wirid Tariqah,
mengundurkan waktunya tanpa adanya udzur.
- Makrillah
adalah siksa/adzab Allah yang tampaknya seperti rahmatNya.
KESIMPULAN
Pada
umumnya tariqat banyak dibawa oleh para ulama Indonesia yang menuntut ilmu ke
timur tengah dan kembali membawa ajaran tariqat, dan menyebarkannya di
Indonesia. Diantaranya tariqat yang mu’tabarah di Nusantara adalah sebagai
berikut:
1.
Tariqat
Khalwatiyah
Nama
khalwatiyah diambil dari nama seorang sufi ulama dan pejuang Makassar abad
ke-17, Syaikh Yusuf Al Makassari Al khalwati (tabarruk terhadap Muhammad
Nur Al Khalwati Al Khawarizmi (w.751/1350)), yang sampai sekarang masih
dihormati.
2. Tariqat Syattariyah
Tarekat
ini dinisbahkan kepada tokoh pendirinya yakni Abdullah
asy-Syattar. Beliau tinggal
di sebuah desa kecil di India bagian tengah. Beliau juga menulis sebuah kitab
yakni Lata’if al-Gaibiyyah, tentang prinsip-prinsip dasar ajaran
Tarekat Syattariyyah, yang disebut sebagai cara tercepat untuk mencapai
tingkat ma’rifat.
3. Tariqat Samaniyah
Nama Tariqat ini terambil dari nama seorang guru tasawuf
yang masyhur yaitu Muhammad ibn ‘Abdul Karim al-Madani al-Syafi’i, yang dikenal
dengan al-Sammani (1718 - 1775 M/1130 – 1189 H).
4. Tariqat Tijaniyah
Tariqat tijaniyah didirikan oleh Ahmad bin Muhammad
Al-Tijani (1150-1230 H) yang lahir di Desa ‘Ain Madi, Aljazair Selatan dan
meninggal di fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Syaikh Ahmad Tijani diyakini
oleh kaum tijaniyah sebagai wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan
memiliki banyak keramat, karena didukung oleh faktor genealogis, tradisi
keluarga, dan proses penempaan dirinya.
Pada intinya semua tariqat tersebut adalah sebagai guide
atau pembimbing kita dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII,Bandung: Mizan, 1995
Buruinessen, Martin Van, Kitab Kuning:
Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1995
Al-Falimbani, Muhyidin Ibn Syihabuddin, Hikayat
Syaikh Muhammad Samman, terj. Aliyudin Mahyudin, Jakarta: Proyek Penerbitan
Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1980Syihab, DR. Alwie, Phd, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi,
Akar Tasawuf Di Indonesia, tt: Pustaka
Iman, 2009
Hamid, Abu, Syaikh Yusuf tajul Khalwati;
Suatu Kajian Antroologi Agama, Ujung Pandang: Disertasi Ph.D Universitas
Hasanuddin, 1990
Luthfi, Muhammad
dan M Chabib Thoha, Mengenal Thariqah, Semarang:
CV Aneka Ilmu, 2005
Mulyati, Sri, dkk, Mengenal dan Memahami
Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2005
Musthafa, Drs. H.A, Akhlak Tasauf, Bandung:
Pustaka Setia, 1997
Pijper, G.H, Fragmenta Islamica: Beberapa
Studi tentang Islam Di Indonesia abad ke XX, terj. Tudjimah, Jakarta: UI
Press, 1987
Purwadaksi, Ahmad, Ratib Samman dan Hikayat Syaikhb
Muhammad Samman: Suntingan Naskah dan Kajian Isi Teks, Disertasi, Jur. Ilmu
Sastra fak. Sastra Universitas Indonesia, 1992
Quzwain, M. Chatib, Mengenal Allah, Suatu Studi
Mengenai Ajaran Tasauf Syaikh Abd Al-Shamad Al-Falimbani, Jakarta: Bulan
Bintang, 1985
Al-Tasfawi, Muhammad Ibn Abdullah, AL-Fath Al-Rabbani
Fi Masyarakat Yahtaj Ilah Al-Murid Al-Tajani, Surabaya: Sa’id Nabhan, t.th
[1] DR. Alwie Syihab, Phd, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi,
Akar Tasawuf Di Indonesia, (tt: Pustaka Iman, 2009) h. 184
[2] Sri
Mulyati, dkk, Mengenal
dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana Predana
Media Group, 2005) h. 117
[4] Abu Hamid, Syaikh Yusuf tajul Khalwati; Suatu Kajian Antroologi Agama, (Ujung
Pandang: Disertasi Ph.D Universitas Hasanuddin, 1990) h.181
[6] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad
XVII dan XVIII,(Bandung: Mizan, 1995) h. 212
[12] Muhyidin Ibn Syihabuddin Al-Falimbani, Hikayat Syaikh Muhammad Samman, terj.
Aliyudin Mahyudin, (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan
Daerah, 1980) h. 12
[13] M. Chatib Quzwain, Mengenal Allah, Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasauf
Syaikh Abd Al-Shamad Al-Falimbani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985) h. 44
[15] Ahmad Purwadaksi, Ratib Samman dan Hikayat Syaikhb Muhammad Samman:
Suntingan Naskah dan Kajian Isi Teks, Disertasi, Jur. Ilmu Sastra fak.
Sastra Universitas Indonesia, 1992, h. 410
[17] Muhammad Ibn Abdullah Al-Tasfawi, AL-Fath Al-Rabbani Fi Masyarakat
Yahtaj Ilah Al-Murid Al-Tajani, (Surabaya: Sa’id Nabhan, t.th) h. 7
[18] G.H Pijper, Fragmenta Islamica: Beberapa Studi tentang Islam Di
Indonesia abad ke XX, terj. Tudjimah, (Jakarta: UI Press, 1987) h. 82
[19]
Muhammad Luthfi dan M Chabib Thoha, Mengenal Thariqah (Semarang: CV
Aneka Ilmu, 2005), 55-56